- Home >
- New Zealand >
- EDISI NEW ZEALAND: Budaya Instant
Posted by : ELIZABETH T
Selasa, 10 November 2009
BUDAYA INSTAN-
ANCAM DUNIA PENDIDIKAN KITA
Sebuah catatan dari Aotearoa-negeri Kiwi, New Zealand)
Segala sesuatu yang instan memang sangat menjanjikan dan justru banyak dikejar orang. Sebut saja makanan dan minuman instan seperti mie instan, susu instan, sereal instan, bumbu instan dan masih banyak lagi. Produk instan membuat kita tak perlu repot, cepat, praktis dan bisa jadi lebih hemat. Ironisnya, instan juga menjadi bagian dari budaya kita. Kenyataan yang sedang terjadi adalah kebiasaan instan melekat dalam kehidupan masyarakat membentuk budaya instan. Salah satu yang penting dicermati adalah budaya instan dalam dunia pendidikan kita yang merupakan polemik. Mengapa? Melihat idealisme pendidikan seperti ditulis dalam Wikipedia yang menyebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat”. Kata “proses” seharusnya digarisbawahi sebagai sesuatu yang perlu ditekankan dalam dunia pendidikan. Hal ini mestinya menuntut kita sebagai pendidik tidak hanya menekankan pada hasil belajar semata namun lebih kepada bagaimana proses belajar itu berlangsung sehingga mencapai tujuan. Kontradiksi dengan budaya instan yang lebih menekankan bagaimana mencapai tujuan dengan cara apapun tanpa mempedulikan aturan dan pertimbangan baik buruknya.
Budaya Instan di Lingkungan Sekolah
Budaya instan seringkali menggiring pendidikan untuk cenderung dibisniskan. Munculnya berbagai cara yang mengarah pada pelanggaran etika akademik yang dilakukan baik sekolah atau perguruan tinggi untuk memenangkan persaingan dengan cara tidak lagi berorientasi pada kualitas input dan output. Salah satunya terlihat mulai dari maraknya promosi dan iming-iming yang menggiurkan agar banyak pelamar sekolah/PT datang sampai pada praktik yang memudahkan kelulusan siswa/mahasiswa dengan cara merekayasa nilai kelulusan.
Penyimpangan etika akademik akibat budaya instan sudah lazim terjadi pada masalah rutin setiap tahun yaitu Ujian Nasional di sekolah. Kerjasama dalam tanda kutip dilakukan apik baik oleh kepala sekolah, guru, siswa, orangtua, dan oknum masyarakat tertentu yang semuanya turut berperan demi kelulusan ujian nasional. Mulai dari jual beli soal ujian beserta kunci jawaban, tim guru yang mengerjakan soal kemudian memberitahu jawabannya kepada siswa sampai pada maraknya lembaga bimbingan belajar yang berlomba-lomba mencari peserta UAN. Berbagai tawaran variasi cara dan trik mengerjakan lembar jawab pada saat ujian dengan berbagai metode yang cepat dan praktis tanpa berfokus pada bagaimana siswa harus memahami isi soal seluruhnya dan menjawab dengan caranya sendiri. Tentunya hal ini sejalan dengan keinginan siswa untuk lulus ujian, orangtua tak perlu was-was mengkuatirkan kelulusan putra-putrinya, sementara pihak sekolah tak ingin dicap sebagai lembaga yang tidak becus mencetak output siswanya, serta lembaga bimbingan belajar pun ingin tetap survive dalam menjalankan roda bisnis dan menanamkan kepercayaan di benak masyarakat. Namun ada hal penting yang sering diabaikan yaitu bagaimana siswa menjalani proses pencapaian hasil belajar itu sendiri. Hal-hal seperti ini memicu para pemerhati pendidikan yang mengkritik dan mengharap perbaikan. Hadirnya Mendiknas yang baru Muhammad Nuh periode 2009-2014 diharapkan ada upaya terobosan yang jelas terhadap ujian nasional dengan mengedepankan kejujuran dan keobyektifan, jauh dari praktek kecurangan yang dilakukan baik guru dan siswa.
Andil orangtua pun cukup besar dalam menciptakan budaya instan. Suatu contoh rutin yang bisa kita amati tiap tahun pada penerimaan siswa baru di sekolah, pengumuman kelulusan atau kenaikan kelas, tak jarang orang tua rela merogoh kocek berapapun demi anaknya. Wow! Contoh lain juga sering kita jumpai banyak orang tua getol mencari guru les bagi anaknya yang bertugas mengerjakan setumpuk PR dari guru mereka. Sementara guru tanpa curiga mengoreksi pekerjaan siswa dengan tidak memperhatikan secara detil, sejauh mana siswa mampu mengerjakan tugas tersebut. Ambisi orangtua agar putra putrinya selalu mendapat gelar juara pun, turut mewarnai indikasi budaya instan. Anak seolah dieksploitasi dengan menjalani sederet kursus dari hari ke hari sepanjang minggu demi memenuhi cita-cita orangtua. Tanpa sadar orang tua hanya mengedepankan hasil (result) belajar dan bukan berorientasi pada proses belajar itu sendiri. Sehingga bukan hal yang aneh jika orangtua sering marah ketika melihat nilai rapor yang merah atau hanya angka 6. Sementara sisi penting yaitu bagaimana proses pencapaian hasil belajar itu sendiri justru diabaikan orangtua. Tanpa sadar kita sudah menanamkan dalam benaknya suatu budaya instan yang akan ditirunya kelak yaitu mencapai tujuan dengan cara instan tanpa menekankan proses pencapaian tujuan itu sendiri.
Bagaimana dengan guru? Seiring dengan gemuknya kurikulum pendidikan kita, tanpa sadar guru turut mendukung tumbuh suburnya budaya instan. Bergegas menyelesaikan bahan ajar semester demi semester, tanpa memperhatikan kapasitas siswa dan proses belajar yang jauh lebih penting. Mengabaikan faktor bahwa setiap siswa adalah unique dan masing-masing memiliki kecerdasan yang berbeda dengan gaya belajar yang berbeda juga, guru tak lagi menerapkan berbagai model pembelajaran namun hanya berpikir “yang penting bahan ini selesai”. Materi yang seharusnya dirancang dengan melakukan praktikum sering diabaikan dengan berbagai alasan tidak ada fasilitas laboratorium ataupun tidak ada alat dan bahan. Demikian juga soal-soal ulangan yang diberikan guru kepada siswa, sebagian besar terfokus pada keterampilan mengingat dan memahami saja, tanpa berusaha mengeksplorasi keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS/higher order thinking skill) dari siswa seperti mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan sintesis. Bentuk soal ulangan yang hanya menyajikan pilihan ganda cenderung memudahkan guru untuk mengkoreksi dan cepat mendapatkan hasil dibandingkan soal essay yang dapat dirancang untuk menstimulasi HOTS.
Sama halnya dengan Ujian Nasional di Indonesia, NZ juga mengadakan ujian nasional NCEA (National Certificate of Educational Achievement) bagi siswa sekolah menengah. Selain soal-soal yang difokuskan pada keterampilan HOTS dari siswa, pelaksanaan ujian pun jauh dari praktik kecurangan. Hal menarik yang Penulis amati adalah proses belajar mengajar di sekolah menengah di NZ yang lebih berorientasi pada proses belajar dan cenderung memberi kesempatan kepada siswa untuk bereksplorasi. Kurikulum pelajaran yang jauh lebih ramping, tidak membebani baik guru dan siswa untuk lebih berinovasi dan berkreasi dalam melakukan aktivitas proses belajar mengajar di kelas. Siswa dapat memilih sendiri mata ajar yang sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Proses belajar pun berlangsung moving class yaitu di kelas-kelas sesuai dengan mata ajarnya (history class, science class, music class, art class, math class dan lain-lain) dengan jumlah siswa terbatas bervariasi antara 10-25 siswa. Guru mengajar dengan selalu menekankan proses belajar ketimbang hasil belajar. Hal ini dapat dilihat dari berbagai model pembelajaran yang digunakan, lesson plans yang terencana matang, dan kegiatan belajar yang berlangsung fun dan enjoy. Guru membimbing siswa satu demi satu dalam tugas-tugas yang diberikan.
Soal-soal ulangan, tugas (assignment) yang diberikan kepada siswa juga tidak hanya monoton pada bentuk soal pilihan ganda namun soal-soal yang lebih menekankan pada tumbuhnya HOTS. Siswa dilatih dan dididik menjadi problem solver melalui analisis berpikir tingkat tinggi, yang tidak hanya menuntut siswa untuk menghafal materi. Bagaimana siswa membuktikan suatu teori ke dalam bentuk eksperimen yang sederhana dan nyata juga merupakan aktivitas sains yang menarik adalah hal lazim dijumpai di sekolah-sekolah NZ.
Budaya Instan dan Plagiarisme
Kasus lain yang sering terjadi dalam dunia pendidikan kita adalah plagiarism. Mendengar kata plagiarisme, bukanlah hal yang baru bahkan kerap terjadi dalam dunia pendidikan kita khususnya perguruan tinggi. Sudah menjadi hal biasa jika demi tujuan segera lulus, tak jarang mahasiswa mencontek naskah penelitian orang lain dan mengganti namanya. Ironisnya banyak kaum pendidik seolah menutup mata, terhadap hal ini, berpura-pura tidak tahu semata mengejar jumlah kelulusan. Menurut sumber dari Wikipedia, plagiarisme adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Oleh karenanya plagiat merupakan salah satu tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain.
Tentunya kasus plagiat oleh Iphong S. Azhar pada disertasi doktornya di UGM dan kasus plagiat Amir Santoso terhadap 22 buah buku yang secara telanjang dikutip habis-habisan demi memperoleh gelar guru besar di FSIP UI merupakan peringatan bagi kita bagaimana budaya instan sedang menghancurkan kejujuran ilmiah. Tidak saja di kalangan perguruan tinggi, acapkali kita jumpai guru bahkan peneliti melakukan plagiat dalam karya ilmiah demi kenaikan pangkat atau golongan atau demi memenuhi persyaratan sertifikasi yang sedang marak saat ini. Jika hal-hal demikian berlangsung terus, alangkah memprihatinkan potret dunia pendidikan kita. Bagaimana anak bangsa bisa bicara di kancah dunia, yang sangat menjunjung tinggi karya orang lain dan menghormati hak-hak manusia.
Kasus plagiat dan penanganannya jelas terlihat di New Zealand baik mulai dari primary school (6 tahun), intermediate school (2 tahun) maupun Senior High School atau menggunakan istilah College (5 tahun) justru menghindari budaya instan. Siswa yang memang tidak sanggup menyelesaikan beban kreditnya akan diberi kesempatan mengulang kembali. Hal ini disambut tidak dengan orang tua yang datang ke sekolah memohon-mohon agar anaknya dinaikkan, namun sebaliknya siswa tersebut justru mengajukan permohonan agar mengulang kembali pelajaran pada tingkatan yang sedang dijalaninya.
Masalah plagiarism juga mendapat sorotan paling penting bagi dunia pendidikan di NZ. Pada awal kegiatan sekolah atau kuliah, para guru dan dosen telah memberikan keterangan dan sosialisasi mengenai apa itu plagiat dan konsekuensinya. Hal ini mendapat perhatian cukup serius dari para pendidik di NZ. Ketika tugas-tugas dikumpulkan dan dikoreksi satu persatu, dan ternyata dijumpai indikasi plagiat maka tindakan tegas segera diberlakukan berupa punishment. Siswa atau mahasiswa akan tidak mendapatkan nilai sama sekali alias nol dan terancam dikeluarkan dari sekolah atau kampus.
Pelajaran sederhana lain yang Penulis petik adalah bagaimana orang tua mendidik anak-anak yang telah dewasa demi menghindari budaya instan. Banyaknya siswa sekolah NZ yang berusia di atas 16 tahun ke atas, baik sepulang sekolah ataupun memanfaatkan hari libur mereka dengan bekerja part time baik di toko, cafe, restaurant, atau supermarket. Bagi mereka bekerja merupakan suatu kebanggaan, dan menganggur adalah hal yang memalukan. Para orangtua tidak begitu mudah memberikan uang saku kepada putra-putrinya. Namun sebaliknya, mendidik mereka agar mandiri dan bekerja atau makan untuk hidup dan bukan hidup untuk meminta-minta atau makan.
Kembali pada tujuan pendidikan
Marilah kita membuka diri, bercermin kepada pendidikan di luar sana, apakah tujuan pendidikan hanya merupakan output saja? Padahal hakikat proses berpikir, bagaimana cara menyelesaikan masalah, berpikir kritis, analitis, inovatif, dan communication skill justru merupakan hal yang jauh lebih penting. Bagaimana siswa mendapat pengalaman belajar sebagai problem solver akan mengantarkannya menjadi orang yang sukses di kemudian hari selepas dari dunia sekolah. Oleh karena itu sudah seharusnya dunia sekolah mulai menghindari budaya instan yang salah satunya akan mengabaikan tahap aplikasi dalam proses berpikir siswa terhadap ilmu yang telah dipelajarinya di sekolah. Dengan demikian tak lagi terdengar banyak orang mengeluh “Wah, lulusan jurusan ini itu, begitu saja kok tidak bisa?”
Kembali pada tujuan pendidikan yang harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas serta mampu bersaing di kancah dunia. Seiring dengan sifat manusia yang cenderung makin individualis sering mendorong kita melakukan hal yang instan sehingga terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Demi mengejar kesuksesan tanpa bersusah payah, bak virus orang tak berpikir lagi untuk mengorbankan dan melecehkan hak orang lain. Siapa cepat akan mendapat meskipun dengan berbagai cara baik halal maupun tidak, berkualitas atau tidak, yang penting hasilnya cepat diperoleh. Apakah ini gambaran manusia Indonesia seutuhnya? Seharusnya kita tetap berpegang pada ideologi bangsa, dunia pendidikan berperan penting dalam mencetak generasi bangsa seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, menghindari hal-hal instan yang akan merusak bangsa ini merupakan agenda bersama. Semoga.
Posting Komentar