SEKELUMIT KEGIATAN WORKSHOP GUPRES TINGKAT NASIONAL 2009
Salah satu program kegiatan untuk menunjang peningkatan profesionalitas guru terus menerus diadakan oleh Direktorat Profesi Pendidik Dirjen PMPTK Depdiknas. Kali ini program yang diadakan adalah kegiatan Pembinaan dan Pemberdayaan Guru Berprestasi Tingkat Nasional yang ditujukan bagi guru-guru berprestasi tingkat Nasional tahun 2007, 2008, dan 2009 bagi semua jenjang baik TK, SD, PLB, SMP, dan SMA/MA/SMK. Acara yang berlangsung di P4TK IPA Bandung pada tanggal 3-7 Desember 2009 ini dihadiri oleh 63 peserta guru dari 20 propinsi di wilayah Indonesia bagian Barat, sementara guru-guru yang berasal dari wilayah Indonesia Timur kegiatan serupa dengan waktu dan materi yang sama diadakan di Bali.
Kegiatan ini membekali para guru dengan berbagai materi yang menunjang peningkatan keprofesionalan guru sesuai UU 14/2005. Tulisan ini mengulas salah satu materi pada acara tersebut yaitu bagaimana dunia pendidikan kita berfokus pada keunggulan komparatif.
Keunggulan Komparatif
Ditinjau dari segi teori, keunggulan komparatif merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Intinya adalah bahwa suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya serta memiliki keunggulan yang tidak dimiliki negara lain. Tidak saja berlaku secara makro yaitu dalam lingkup negara, namun secara mikro keunggulan komparatif perlu dimiliki suatu organisasi yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan organisasi sesuai visi dan misi bersama.
Mari kita gambarkan keunggulan komparatif dengan melihat contoh yang ada. Suatu saat seorang guru bertanya kepada siswanya di kelas. “Negara manakah yang paling maju, apakah India, Mesir, USA, Singapura, Australia, atau New Zealand? Rata-rata siswa menjawab USA, Australia, New Zealand, atau Singapura. Jawaban ini menimbulkan pertanyaan baru. “Mengapa bukan India dan Mesir yang sudah lebih dahulu ada dibandingkan negara lain yang disebutkan tadi?”. Jika kita melihat kemerdekaan negara kita dibandingkan Jepang yang terjadi pada tahun yang sama, namun sekarang negara kita jauh tertinggal dibandingkan Jepang. Ternyata umur suatu negara bukan jaminan bahwa negara itu lebih maju dan unggul.
Bagaimana dengan lagu Koes Plus yang salah satu bagian liriknya berbunyi tongkat kayu dan batu menjadi tanaman? Lagu tersebut mengkiaskan bahwa betapa suburnya alam Indonesia. Lalu apakah dengan demikian ketersediaan sumber daya alam menjadi jaminan kemakmuran suatu negara? Mari bercermin dengan negara tetangga Singapura yang kecil dan hanya berpenduduk 4 juta jiwa serta fasilitas sumber daya alam yang minim, negara ini unggul dalam pengembangan SDM yang memiliki daya saing global. Sementara di belahan bumi Eropa ada Swiss yang juga negara kecil dengan penduduk sedikit, namun telah menjadi negara produsen coklat terbesar di dunia, dengan merek Delfi dan Cadburry atau terkenal dengan susu Nestle nya. Sementara dari segi keamanan, bank-bank di Swiss menjadi incaran para konglomerat dunia yang menyimpan hartanya hingga ke anak cucu. Sama halnya Jepang yang pada setiap tahun ajaran baru, selalu membiasakan siswa-siswinya membawa sebongkah batu. Berharap bahwa setiap pelajar di Jepang memahami arti kerja keras karena alam negeri Jepang yang keras seperti batu. Kendati alam yang tak memadai, Jepang ternyata berhasil mengembangkan sistem pertanian hidrophonic yang memanfaatkan air sebagai media tanam. Berbicara kemajuan dan kemakmuran suatu negara yang memiliki keunggulan komparatif, terlepas dari faktor umur negara tersebut atau ketersediaan sumber daya alam yang melimpah merupakan agenda bersama.
Satu hal yang perlu kita banggakan melalui keunggulan komparatif ini adalah pengakuan dunia atas batik sebagai warisan budaya asli Indonesia. United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) telah mengukuhkan tradisi batik sebagai salah satu budaya warisan dunia asli Indonesia pada Oktober 2009 kendati Malaysia sempat mengclaim bahwa batik Malaysia berasal dari batik Jawa yang telah didesain sesuai kultur Melayu. Pentingnya melirik keunggulan komparatif yang kita miliki karena betapa negara lain pun begitu bangga terhadap kebudayaan Indonesia yang sarat dengan nilai seni tinggi. Sebut saja Reog Ponorogo dan Tari Pendet yang dengan bangga stasiun televisi Malaysia yang berbasis di Singapura membuat tayangan seolah kesenian ini milik negaranya. Bagaimana dengan kerawitan yang ternyata justru Singapura mempelajari seni musik ini kendati hanya dengan menggunakan keyboard. Di bidang perdagangan, negara China pun mampu memasarkan busana Batik buatannya sendiri yang pangsa pasarnya melebihi negara kita. Jika hal-hal ini dibiarkan terjadi maka bukan tidak mungkin suatu saat akan terjadi lost generation di mana generasi muda tak lagi mewarisi budaya lokal serta kehilangan jati dirinya.
Institusi pendidikan berperan penting menciptakan outcome dalam dunia pendidikan, sering terjebak dalam memberikan layanan terbaik bagi anak bangsa. Bagaimana suatu institusi bisa bersaing dan dikejar masyarakat demi menyekolahkan putra-putrinya pada institusi tersebut? Jawabannya adalah dengan memainkan keunggulan komparatif. Suatu contoh sekolah dasar dengan fasilitas sekolah serba minim, terletak di ujung daerah yang letaknya sulit dijangkau namun justru dicari masyarakat. Dengan alamnya yang masih asri, sekolah tersebut membangun taman bermain yang tradisional, unik, dengan memanfaatkan bahan-bahan sederhana seperti tali tambang dan ban bekas untuk ayunan. Berkat inovasi yang dikemas secara inovatif serta memanfaatkan keunggulan lokalnya, sekolah tersebut memiliki daya saing yang memikat. Perlunya sekolah berbasis pada keunggulan komparatif yang menjadi ciri khas lokal atau daerahnya masing-masing disertai pengelolaan yang inovatif bukan mustahil dikejar masyarakat karena menjawab kebutuhan yang ada.
Bagaimana dengan guru dalam partisipasinya menciptakan iklim sekolah yang memiliki keunggulan komparattif? Adanya tunjangan profesi guru justru seharusnya merupakan kesempatan besar untuk meningkatkan kualitas mengajar di kelas, menciptakan ide-ide baru yang membuat pelajaran menjadi menarik bagi siswa. Secara tidak langsung keunggulan tiap mata pelajaran yang diciptakan guru dalam sekolah tersebut dapat menjadi daya tarik masyarakat. Tak jarang para orang tua berebut mendaftarkan putra-putrinya ke suatu sekolah karena mata pelajaran anu nya bagus, dan terbukti dari berbagai kejuaraan yang bisa disabet sekolah tersebut.
Dalam rangka usaha meningkatkan keprofesionalan guru, sering djumpai kendala. Suatu saat seorang guru bertanya kepada Penulis. “Bagaimana caranya agar tetap termotivasi bekerja dengan baik, sementara lingkungan kerja telah tercipta iklim budaya kerja yang baik atau buruk toh penghargaan yang diterima sama saja?” Di sinilah pentingnya menanamkan sikap bahwa jangan pernah menyesal berbuat baik. Bisa saja imbalan yang diperoleh sama namun pola pikir investasi akan memberi keuntungan jangka panjang dibandingkan pola pikir cash and carry. Kenyataannya setiap kita akan jauh lebih bermanfaat jika kita melakukan sesuatu daripada tidak melakukan apa-apa.
Masalah lain yang sering dijumpai adalah bagaimana jika proses pendidikan kurang modal sehingga menjadi alasan untuk tidak mampu menciptakan keunggulan komparatif serta mengkambing hitamkan pihak lain, misalnya dengan memberi alasan sarana prasarana yang tidak lengkap? Hal ini dapat diindikasikan dengan turunnya kinerja guru. Penting dicermati apakah penyebabnya. Apakah yang diperlukan dalam menciptakan kinerja yang tinggi? Ambil saja ilustrasi jika A,B, C, D, dst..hingga huruf Z adalah 1,2,3, dst sampai 26 maka kita bisa menjumlahkan angka-angka tsb membentuk rangkaian kata tertentu. Mari menghitung kata “hardwork” yang ternyata cukup fantastis yaitu 98%; kata “knowledge” mencapai 96%; “love” hanya menghasilkan 54%; “luck” 47%; “money” 72% dan “leadership” 89%. Lalu apakah yang 100%? Coba jumlahkan kata “attitude” maka kita akan mendapatkan angka sempurna 100%. Artinya bahwa sangat diperlukan suatu sikap (attitude) dalam melakukan apapun, yang membuat kinerja kita menjadi maksimal. Suatu survey hasil penelitian yang diadakan oleh Depdiknas, mencatat bahwa attitude seorang guru dalam mengajar terbukti meningkatkan hasil belajar 53%/tahun atau 83%/3 tahun. Sementara guru yang tidak memiliki attitude hanya mampu menaikkan hasil belajar sebesar 14%/th atau 29%/3 tahun.
Program 100 hari Mendiknas M.Nuh
Salah satu bagian dari rangkaian acara ini yang tak kalah pentingnya adalah melibatkan peserta dalam salah satu program 100 hari Mendiknas M.Nuh yang berlangsung hingga 1 Februari 2010. Agenda pada acara tersebut adalah memberi masukan pada permendiknas yang membahas pengelolaan guru-guru yang bertugas di daerah terdepan, terluar, dan perbatasan dengan negara lain.
Program yang dituangkan Mendiknas baru M.Nuh ini antara lain program penyediaan internet massal di sekolah, penguatan kemampuan kepsek dan pengawas sekolah, beasiswa PTN bagi siswa berprestasi yang tak mampu, penyempurnaan Renstra 2010-2014, pengembangan budaya dan karakter bangsa, pengembangan metodologi pembelajaran dan enterpreneurship, juga di susun suatu kebijakan khusus tentang pengelolaan guru yang bertugas di daerah terdepan, terluar, dan perbatasan dengan negara lain. Peraturan ini dibuat dalam rangka kebijakan non diskriminasi layanan pendidikan. Guru yang ditempatkan di daerah terdepan, terluar, dan berbatasan dengan negara lain ini perlu mendapat pemenuhan kebutuhan, penyediaan beasiswa, peningkatan kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi. Kesejahteraan, fasilitas, penghargaan dan perlindungan hukum, profesi, juga kesehatan dan keselamatan kerja merupakan hal-hal yang sedang digodok matang. Berharap bahwa melalui program-program kerja Depdiknas ini maka reformasi pendidikan nasional jilid 2 berlanjut sukses. Mari bersama tetap berkarya bagi bangsa sesuai dengan kapasitas dan bagian kita masing-masing.
Posting Komentar