- Home >
- New Zealand >
- EDISI NEW ZEALAND: Belajar dari Budaya Barat, Bercermin pada Budaya Lokal
Dinas Pendidikan Propinsi Jambi menyelenggarakan seleksi diklat ke luar negeri bagi guru-guru MIPA jenjang SMA yang bertujuan meningkatkan kompetensi guru terkait dikembangkannya sekolah rintisan bertaraf internasional (RSBI). Seleksi berlangsung pada tanggal 28-30 Mei 2009 di LPMP dan diikuti oleh 60 guru bidang studi Bahasa Inggris dan 120 guru bidang studi MIPA jenjang SMA/SMK dari seluruh kabupatan/kota di propinsi Jambi. Test meliputi kemampuan bahasa Inggris (TOEFL) yang diselenggarakan UPT kebahasaan Universitas Jambi, dan kemampuan akademik pada penguasaan substansi keilmuan yang diselenggarakan oleh P4TK Bandung. Dari seluruh peserta yang mengikuti test seleksi, diambil 30 peserta guru MIPA yang lolos dengan nilai memenuhi syarat. Ke-30 peserta ini menjalani pelatihan lanjutan di UPT Kebahasaan Universitas Jambi selama 2 minggu untuk memperdalam kemampuan Bahasa Inggris. Seorang nara sumber native speaker Erick yang berasal dari Tenneese USA turut mengasah pronounciation peserta dengan mengajar penuh kesabaran.
Setelah satu minggu mendapat pelatihan lanjutan, ke-30 peserta diseleksi ulang dengan mengerjakan test TOEFL dan hasil seleksi menunjukkan bahwa 20 orang guru MIPA jenjang SMA berhak mendapatkan tiket diklat ke luar negeri. Negara yang dipilih sebagai tempat belajar adalah New Zealand dengan alasan merupakan salah satu negara OECD.
Negara yang terkenal dengan buah Kiwi, madu Manukau, dan susu segar keluaran ANCHOR ini berpenduduk hanya 4,8 juta, dengan luas hanya 270.534 km2 terletak di sebelah tenggara benua Australia di antara laut Tasman dan samudara Pasifik. Negara yang lingkungan tempat tinggalnya berbukit-bukit dan selalu berangin kencang ini sangat tenang, nyaman, dan aman serta banyak didatangi imigran dari Asia, Afrika, dan Eropa karena alamnya yang sangat indah. Selama tinggal di sini, Penulis banyak mendapat hikmah yang bisa dipetik karena hidup di negara berbudaya barat tak selamanya negatif namun justru merupakan cermin bagi kita yang memiliki budaya lokal sebagai ciri khas identitas bangsa.
Apakah Budaya?
Apakah budaya dan seberapa besar pengaruhnyakah, sehingga beberapa pemimpin besar seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka menciptakan budaya berpikir untuk sebuah kemerdekaan. Menilik pengertian budaya, berbagai pendapat para ahli menyatakan bahwa budaya merupakan hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia atau keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh manusia dengan cara belajar. Oleh karena beragam pemikiran manusia maka beragam pula budaya suatu daerah, yang secara global dikelompokkan ke dalam budaya barat dan budaya timur.
Budaya barat dan timur acapkali bertentangan. Banyak orang merasa anti terhadap budaya barat yang memang lebih menekankan individualitas dan kebebasan. Hal-hal seperti merayakan Valentin, berciuman di tempat terbuka yang mungkin saja hal ini bagi mereka menggambarkan persahabatan atau komunikasi yang terkesan lebih aktif dan hangat sampai pada kehidupan malam dan seks bebas. Namun demikian, tak selamanya budaya barat bersifat negatif. Secara tidak langsung kita telah menggunakan budaya barat dalam kehidupan sehari-hari seperti mengenakan jas dan jeans, makan dengan sendok dan garpu, atau bersalaman dengan menjabat tangan. Jika ditelusuri, sejak dahulu kita sudah menyerap budaya barat, khususnya yang berasal dari Portugis dan Belanda dalam hal bahasa. Banyak kosa kata yang mengalami asimilasi dari kedua negara tersebut. Sebut saja biola (viola), lampu (lamp), mentega (manteiga), pigura (figura), pita (fita), sepatu (sapato), tolol (tolo), jendela (janela), algojo (algoz), bangku (banco), bendera (bandeira), dan boneka (boneca). Di bidang seni musik pun keroncong yang banyak dipercaya sebagai musik ciri khas Jawa Tengah, sebenarnya merupakan bentuk seni musik Portugis.
Bagaimana kita mengenal budaya barat dan bercermin terhadap budaya sendiri, berikut pengalaman Penulis ketika tinggal di New Zealand.
Hari Pertama di Negara Kiwi
Hari pertama, Rabu 20 Agustus 2009 saat hari pertama puasa bagi kaum Muslimin, pesawat kami Royal Brunai Air Lines take off dari bandara udara Bandar Seri Begawan Brunai menuju Auckland di New Zealand (NZ). Perjalanan menuju negara Aotearoa atau awan putih panjang sebutan orang Maori untuk NZ ini ditempuh selama kurang lebih 10 jam di udara. Akhirnya pesawat mendarat di bandara udara Aukland NZ Airport. Melalui beberapa tahap pemeriksaan baik pasport, luggage, biosecurity dll, akhirnya Penulis dan rombongan bisa keluar dengan aman. Ketika tiba di bagian penjemputan terasa udara dingin dan angin kencang menerpa wajah kendati Penulis dan rombongan telah mengenakan mantel tebal.
Pihak kampus Whitireia tempat Penulis dan rombongan menimba ilmu telah menunggu kami. Mr. Andrew dengan gayanya yang ramah segera menyapa rombongan. Dengan memegang daftar nama guru dan alamat homestay masing-masing, Mr. Andrew mengkoordinasi rombongan agar dapat segera menuju mini bus yang akan mengantarkan kami ke tempat homestay masing-masing.
Budaya Terima Kasih, Antri, dan Tertib Lalu Lintas
Hari kedua berada di Auckland, meskipun tinggal di berbagai daerah yang berbeda, Penulis dan rombongan sudah harus berani naik bus menuju kampus. Maklum, letak homestay bervariasi jaraknya sehingga memerlukan waktu sekitar 30-50 menit by bus menuju mid town. Memang sebagian besar penduduk NZ tinggal di daerah luar kota, sementara mereka bekerja dan kuliah di kota (mid town atau city). Oleh karena itu, naik bus merupakan salah satu aktivitas rutin Penulis dan teman-teman lainnya setiap hari. Naik bus, merupakan kegiatan yang sangat simple namun memberikan pelajaran sekaligus pengalaman berharga yang Penulis petik hikmahnya.
Sebentar saja menunggu di halte bus, lewat bus nomor 975. Bus berhenti dan pintu terbuka automatis, segera Penulis dan penumpang lain berderet antri naik ke atas bus satu persatu dengan tertib. Tidak ada rebutan, dorong-dorongan, sikut-sikutan atau istilah lain yang sejenis, yang menunjukkan keinginan untuk didahulukan. Cara antri pun selalu mendahulukan wanita. Dengan senyum, biasanya pria memberi ruang agar wanita naik ke bus lebih dahulu baru disusul pria. Penulis segera menunjukkan tiket bus daerah Beach Haven menuju city, dan mengucapkan “thank you” setelah mendapat layanan.
Sekitar 30 menit bus melaju dari Beach Haven tempat tinggal Penulis melewati Birkenhead menuju mid town tempat kami belajar. Pemandangan alam indah di kanan kiri jalan. Pohon dan bunga-bunga dengan aneka warna mencolok menghiasi sepanjang jalan, serta deretan rumah tertata rapi. Tempat sampah terbuat dari box plastik besar yang seragam di seluruh kota, terletak di pinggir jalan, siap menunggu truk pengangkut sampah automatis tidak mengotori pemandangan. Adapun sebagian besar penumpang yang merupakan karyawan,mahasiswa, dan pelajar sekolah baik primary school, intermediate school, maupun senior high school, selalu naik dan turun di tempat yang telah ditentukan yaitu halte bus. Penumpang mengejar bus karena timetable bus sangat akurat dan bukan supir bus yang berebut penumpang. Supir bus cukup memencet bel saja maka pintu bus pun terbuka dan tertutup secara automatis. Pengemudi tak banyak bicara. Tertib sekali. Asap rokok pun tak ada, karena orang tak akan merokok di sebarang tempat.
Pemandangan yang Penulis amati di dalam bus adalah bus bersih dan rata-rata orang duduk memanfaatkan waktu dengan membaca atau mendengarkan musik. Setiap kali naik, menyerahkan tiket, membayar, dan menerima uang kembalian dan mengucapkan “thank you”. Demikian juga supir bus akan menurunkan penumpang pada halte bus sementara penumpang turun seraya mengucapkan “thank you”. Suatu pelajaran hidup yang sangat sederhana bagaimana kita tetap menghormati orang lain kendati supir bus dan mendahulukan orang lain dalam sikap antri; menghargai waktu, dan mematuhi tata tertib lalu lintas.
Suatu contoh lain mematuhi aturan lalu lintas dapat dilihat bahwa di tiap simpang terdapat lampu lalu lintas dan kendaraan pun mengikut peraturan dengan tertib. Penyeberang jalan menyeberang sesuai dengan aturan dengan melihat lampu tanda penyeberangan. Cukup dengan memencet tombol penyeberang jalan maka lampu merah akan menyala dan ketika lampu sudah menunjukkan warna hijau, penyeberang harus bergegas menyeberang. Pengemudi kendaraan pun acapkali memberi kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang jalan lebih dahulu meskipun tak ada lampu penyeberang jalan. Jarang terjadi kecelakaan di sini karena kendaraan berjalan pada jalurnya masing-masing tanpa kebut-kebutan atau saling menyalib kecuali pengemudi yang sedang dalam keadaan mabuk dan untuk hal ini dikenakan denda yang sangat besar serta pencabutan lisensi mengemudi.
Pemandangan antri dengan tertib tanpa rebutan juga sangat menarik perhatian Penulis. Di mana pun berada, orang-orang antri tanpa perlu diperintahkan, dihimbau, diperingatkan atau apa lagi istilahnya yang jelas antri merupakan spontanitas.
Bercermin terhadap Budaya Lokal
Memang sejak seorang anak mulai belajar berbicara, sudah tentu orangtua kerap mengajari mereka mengucapkan terima kasih jika menerima sesuatu dari orang lain. Kata “terima kasih” merupakan rangkaian kata-kata pertama yang dipelajari anak sejak mulai mengenal bahasa. Namun lambat laun, kata-kata ini bagai gema yang hilang ditelan angin. Kata “terima kasih” sudah dianggap hal yang biasa saja. “Ah, sudah sewajarnya dia menolong saya khan?”, atau “Bukankah itu sudah kewajibannya?” ada juga pernyataan “Hal itu sudah menjadi tugas rutinnya”. dan berbagai alasan lain. Label peringatan bertuliskan DILARANG MEROKOK; DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI SINI lebih kerap terlihat dibandingkan TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEROKOK; TERIMA KASIH UNTUK TIDAK MEMBUANG SAMPAH DI SINI; dll. Mungkin terasa begitu biasa sehingga makin lama kita semakin jarang saja mengucapkan dan mendengar kata “terima kasih”.
Jika dipandang dari budaya Timur yang cenderung lebih “tata krama” mestinya terima kasih menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan masyarakat kita. Sesungguhnya jika ditilik jauh ke belakang bahwa banyak dongeng nusantara atau legenda yang di dalamnya dapat digali makna tingkah laku yang mencerminkan sifat keramahan di dalam pergaulan sebagai salah satu cermin budaya lokal bangsa kita. Seseorang yang ramah tamah, mudah mengucapkan terima kasih, memiliki rasa “tepo seliro” sehingga sabar mengantri, mudah mematuhi aturan lalu lintas sementara hal-hal yang sering dijumpai ketika demo atau unjuk rasa yaitu hujatan, ejekan, makian terhadap tuntutan yang tidak dipenuhi seharusnya dijauhi.
Apa Peran Guru?
Memang budaya terkait segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia serta mengingat bahwa budaya tidak diwariskan secara generatif (biologis), melainkan diperoleh dengan cara belajar. Oleh karena itu apa sumbangsih kita khususnya kaum pendidik bagi generasi bangsa dalam pembangunan karakter masyarakat (character building) yang mempertahankan budaya lokal? Perlu diingat bahwa pendidikan merupakan salah satu komponen non material kebudayaan yang punya peran signifikan dalam melestarikan suatu budaya. Salah satu kontribusi pengenalan budaya yang benar seharusnya dapat dilakukan secara kontinu di lingkungan sekolah atau kelas. Mulailah dari hal-hal yang paling sederhana misalnya membiasakan budaya terima kasih yang dapat guru ajarkan secara tidak langsung. Mengucapkan terima kasih ketika peserta didik telah menghapus papan tulis, mengambil daftar absen, mengerjakan sesuatu bagi sang guru. Demikian pula sebaliknya jika siswa menerima kertas hasil ulangan, tugas PR yang telah dikoreksi, atau apa pun baik dari guru atau pun sesama teman di sekolah dapat membiasakan ucapan terima kasih. Dengan membuang sampah pada tempatnya ketika jam istirahat berlangsung, budaya cinta kebersihan lingkungan sekolah dapat diajarkan. Mengambil bungkus makanan yang berserakan atau mengambil sampah makanan di laci meja dalam ruang kelas dan dibuang ke dalam kotak sampah merupakan awal pembiasaan yang baik.
Bagaimana membiasakan antri? Di dalam kelas dapat mulai dibiasakan mengantri misalnya masuk dan keluar kelas atau ketika siswa menyerahkan kertas ulangan, tugas, dan semua kegiatan akan tertib jika siswa antri menunggu giliran tanpa sungut-sungut. Sikap siswa di jalan raya juga perlu mendapat perhatian dari guru-guru dengan cara mengingatkan peraturan berlalu lintas yang benar. Tentu saja guru perlu memberi contoh terlebih dahulu dengan tetap membawa identitas lengkap ketika berkendaraan, mengenakan sabuk pengaman dan helm serta mematuhi aturan lalu lintas dengan benar. Memang segala sesuatu perlu belajar. Segala sesuatu perlu pembiasaan. Segala sesuatu yang dibiasakan akan tumbuh menjadi suatu budaya yang telah masuk ke dalam alam pikiran, secara automatis tanpa paksaan. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang bermartabat di mata dunia. Marilah kita mulai dari hal-hal yang kecil. Tentunya hal ini perlu dukungan semua pihak. Semoga.
Posting Komentar